Pesta
Pesta Hajatan Dedmul Berujung Duka: Kini Tiga Nyawa Melayang

Pesta Hajatan Dedmul Berujung Duka: Kini Tiga Nyawa Melayang

Pesta Hajatan Dedmul Berujung Duka: Kini Tiga Nyawa Melayang

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Pesta Hajatan Dedmul Berujung Duka: Kini Tiga Nyawa Melayang

Pesta Rakyat Yang Di Gelar Dalam Rangka Pernikahan Putra Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Berubah Menjadi Tragedi Menewaskan 3 Orang. Ribuan warga yang memadati lokasi syukuran dan pentas seni di kawasan Pendopo Garut pada Jumat (18/7) malam terjebak dalam situasi desak-desakan hebat. Tiga nyawa melayang, puluhan lainnya pingsan, dan suasana sukacita berubah menjadi kepanikan massal. Acara yang dikemas sebagai Pesta Rakyat itu memang menyedot perhatian publik. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa akan ada hiburan rakyat dan makanan gratis, membuat ribuan orang tumpah ruah ke lokasi. Namun, pengaturan massa yang tidak proporsional dan minimnya pengamanan mengakibatkan kerumunan tak terkendali.

Dalam kepadatan yang ekstrem itu, banyak warga mengalami sesak napas. Tiga korban dinyatakan meninggal dunia di tempat dan rumah sakit terdekat: seorang anak perempuan berusia 8 tahun, seorang ibu lanjut usia asal Jakarta Utara, serta seorang anggota kepolisian Polres Garut yang tengah bertugas mengamankan acara. Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada keluarga korban dan masyarakat Jawa Barat. Dalam konferensi persnya, ia mengaku tidak mengetahui bahwa Pesta Rakyat akan berlangsung sedemikian besar. Ia juga menegaskan bahwa tidak pernah berniat menyelenggarakan pembagian makanan gratis secara terbuka.

Sebagai bentuk tanggung jawab moral, Dedi Mulyadi memberikan santunan sebesar Rp150 juta kepada masing-masing keluarga korban. “Saya turut berduka yang sedalam-dalamnya. Ini pelajaran besar bagi kita semua tentang pentingnya pengendalian massa dalam kegiatan publik,” ujarnya. Peristiwa ini menyoroti kurangnya protokol keamanan dalam acara besar yang melibatkan publik. Tidak adanya jalur evakuasi yang jelas, serta minimnya pengawasan petugas kesehatan dan pengamanan sipil, memperparah situasi Pesta.

Ini Bukan Sekadar Kecelakaan, Ini Akibat Kelalaian!” Tulis Akun @Rakyatpeduli

Tragedi yang menewaskan tiga orang dalam acara pesta pernikahan anak Dedi Mulyadi sontak menjadi topik hangat di media sosial. Warganet dari berbagai latar belakang menyuarakan duka, kekesalan, hingga kritik pedas terhadap buruknya manajemen kerumunan dalam acara publik berskala besar.

Di platform X (Twitter), tagar #TragediPendopoGarut dan #PestaBerujungDuka sempat masuk dalam trending topic nasional. Banyak pengguna media sosial menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban, khususnya karena salah satu korban adalah seorang anak kecil berusia 8 tahun.

“Anak kecil jadi korban di pesta pejabat. Hati saya hancur. Ini Bukan Sekadar Kecelakaan, Ini Akibat Kelalaian!” Tulis Akun @Rakyatpeduli.

Beberapa warganet mempertanyakan mengapa acara sebesar itu tidak di sertai pengamanan yang memadai. Banyak yang menyoroti bahwa acara dengan iming-iming makanan gratis dan hiburan gratis sudah seharusnya memikirkan skenario manajemen kerumunan dan sistem evakuasi.

“Kenapa masih aja di zaman sekarang, acara rakyat begini gak punya kontrol crowd? Bukannya ini udah kejadian berkali-kali di Indonesia?” tulis akun @RiskyAditya.

Namun, ada pula warganet yang menyuarakan empati dan mengapresiasi sikap tanggung jawab Gubernur Dedi Mulyadi, yang secara terbuka meminta maaf dan memberikan santunan kepada keluarga korban.

“Setidaknya Gubernur tanggap dan mau turun langsung. Tapi ya tetap saja, nyawa nggak bisa dibayar dengan uang,” komentar pengguna Instagram @melania_tr.

Di skusi juga meluas ke masalah struktural. Beberapa akun aktivis sipil menyayangkan bahwa banyak pejabat masih memanfaatkan “pesta rakyat” sebagai ajang popularitas politik, tanpa manajemen profesional. Mereka menilai bahwa inilah bentuk nyata dari ketidaksiapan negara dalam menyelenggarakan acara berskala besar secara aman. “Budaya pencitraan dengan dalih pesta rakyat harus dirombak.

Berkembang Menjadi Pesta Rakyat Yang Tak Terkendali

Tragedi dalam pesta pernikahan anak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menewaskan tiga orang dan membuat puluhan lainnya pingsan, menjadi tamparan keras bagi sistem pengelolaan acara publik di Indonesia. Sorotan utama kini mengarah pada buruknya tata acara dan lemahnya protokol keamanan, yang menyebabkan acara berubah dari perayaan menjadi duka nasional.

Berdasarkan laporan dari lapangan, ribuan warga memadati area pendopo tanpa pengaturan arus masuk dan keluar yang jelas. Jalur evakuasi tidak di siapkan secara memadai, sementara jumlah petugas medis dan pengamanan lapangan jauh dari cukup untuk menangani potensi risiko kerumunan.

Kepala Polres Garut, AKBP Rio Meidianto, menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan penyelidikan internal untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut. “Kami mendalami struktur kepanitiaan, SOP keamanan, serta apakah ada pelanggaran dalam pemberian izin keramaian,” ungkapnya.

Salah satu titik rawan yang di sorot adalah tidak adanya pembatasan kapasitas. Acara yang semula di sebut hanya pentas seni dan syukuran keluarga, Berkembang Menjadi Pesta Rakyat Yang Tak Terkendali. Pembagian makanan gratis memancing antrian panjang dan desak-desakan, padahal tidak ada sistem nomor antrean, pembagian zona, atau personel pengatur massa.

Pengamat kebencanaan, Dr. Satria Taufiq dari Universitas Padjadjaran, menilai bahwa kejadian ini adalah akibat “budaya seremonial tanpa mitigasi”. Ia menegaskan bahwa dalam setiap kegiatan yang melibatkan massa lebih dari seribu orang, harus ada perhitungan risiko berdasarkan standar keselamatan internasional, seperti analisis kepadatan per meter persegi, ventilasi udara, dan jalur evakuasi minimal dua arah.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Akhirnya Angkat Bicara Setelah Tragedi

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Akhirnya Angkat Bicara Setelah Tragedi memilukan yang merenggut tiga nyawa dalam acara pesta pernikahan anaknya di Pendopo Garut pada Jumat malam (18/7). Dalam konferensi pers resmi yang di gelar keesokan harinya, Dedi tampil dengan raut wajah muram dan menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada keluarga korban dan masyarakat luas.

“Saya, secara pribadi dan sebagai orang tua dari mempelai, menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya. Acara yang niatnya untuk berbagi kebahagiaan ternyata menimbulkan duka bagi sebagian orang. Ini adalah luka yang tidak akan mudah saya lupakan,” ujar Dedi dengan suara bergetar di hadapan awak media.

Pernyataan tersebut sontak menuai berbagai reaksi, namun sebagian besar publik menilai langkah Dedi sebagai bentuk tanggung jawab moral yang patut di apresiasi. Tidak hanya berhenti pada pernyataan, Dedi juga mengumumkan bahwa pihak keluarga akan memberikan santunan sebesar Rp150 juta kepada masing-masing keluarga korban.

Santunan tersebut langsung di serahkan melalui perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut. Selain santunan uang tunai, Pemprov juga akan membantu pengurusan pemakaman dan memberikan layanan pendampingan psikologis kepada keluarga yang terdampak.

“Ini bukan untuk mengganti nyawa yang hilang. Ini bentuk penghormatan kami, sekaligus pengakuan bahwa ada kekurangan dalam pelaksanaan acara tersebut,” ucap Dedi.

Dalam keterangannya, Dedi juga menegaskan bahwa dirinya tidak mengetahui secara rinci soal pembagian makanan gratis yang di sebut-sebut sebagai pemicu kerumunan. Ia mengklaim hanya mengizinkan pentas seni untuk masyarakat, tanpa instruksi agar ada konsumsi massal. Meski demikian, Dedi menegaskan bahwa tidak akan melempar tanggung jawab kepada panitia atau pihak lain. “Karena ini acara keluarga kami, maka saya ikut bertanggung jawab. Evaluasi menyeluruh akan di lakukan agar kejadian serupa tidak terulang,” tegasnya Pesta.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait